Minggu, 28 November 2010

Mitra Independent



Ucapan Selamat

Segenap Jajaran Redaksi & Keluarga Besar Tabloid Independent Suara Selayar
Mengucapkan :
Dirgahayu Bumi Tanadoang Ke 405 Tahun
Semoga Kabupaten Kepulauan Selayar Dapat Selangkah Lebih Maju Di Bawah Nakhoda Drs. H. Syahrir Wahab, MM & H. Saiful Arif, SH


TTD

Basmiati Bakkang
Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab Harian









Sabtu, 27 November 2010

Siswi SMA Dicabuli di Selayar

Pemerhati Anak Melapor Ke Polisi
Selayar, Tribun - Seorang siswi SMA di Kabupaten Selayar, Ar (14), diduga dicabuli oknum kenek truk, Ah (24) Korban yang tinggal bersama neneknya di Desa Barugaiya, Kecamatan Bontomanai, dipeluk oleh pria itu ketika sedang menunaikan salat Ashar, Kamis (18/11) lalu.
Pada rakaat terakhir, Ar sempat mendengar ucapan salam dari seorang pria. Tak ada kecurigaan sedikit pun dari ABG ini. Namun korban belum sampai mengucapkan salam pada rakaat terakhir, Ah tiba-tiba memeluk korban dari belakang sambil mencekik lehernya. Keterangan ini disampaikan kakak korban, NS, kepada Tribun, Minggu (21/11).
"Adik saya sempat melawan dan meninju muka pelaku, tapi kalah kekuatan karena pelaku terus mencekiknya hingga tidak berdaya dan selanjutnya mencabulinya," katanya. Menurutnya, setelah kejadian itu, adiknya tidak sadarkan diri.
Sedangkan sang pria tidak langsung pergi. Ah masih sempat duduk di depan rumah tempat kejadian. NU menduga, pria ini hendak mengaburkan jejak. Tapi tidak lama berselang, korban sadar. Ar lalu lari keluar rumah berteriak minta pertolongan. Mendengar teriakan itu, tetangga berdatangan.
Ah yang masih berada di lokasi langsung diamankan warga. Pria ini menjadi sasaran kemarahan warga. (smb)
Dilapor Polisi
Ketua Pemerhati Anak Kabupaten Selayar, Asnawi, mengatakan, pihaknya telah melaporkan kejadian itu ke Mapolres Selayar pada Jumat (19/11) lalu. "Kejadian ini telah laporkan ke polisi dan masalah ini penting untuk dikawal proses hukumnya," kata Asnawi, kemarin.
"Kami juga telah menyampaikan hal ini ke Pak Mappinawang dan Lembaga Perlindungan Anak di Makassar," katanya, kemarin. Ah yang kenek mobil adalah warga setempat. Sepekan sebelumnya, ia berkenalan dengan korban. (smb/Tribun Timur)

Selayar Kepulauan Yang Dulu Aku Hasrati

Oleh : Agung Prabowo


Terminal Mallengkeri, pukul 09.31 WITA, bus Sumber Mas Murni berangkat menuju pelabuhan penyebrangan Bira, di kabupaten Bulukumba. Dari arah Makassar, ada empat kabupaten yang dilalui bus ini yakni kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng.
Di tengah perjalanan, bus menepi di seberang sebuah warung SOP Saudara di Bantaeng untuk beristirahat. Harga semangkuk SOP 13 ribu rupiah, ditambah nasi dua ribu rupiah untuk sepiringnya sepiringnya. Walaupun harga yang ditawarkan mahal, perusahaan bus tidak memberi alternatif tempat makan lain.
Kerjasama yang menguntungkan antara perusahaan transportasi dengan pemilik warung. Aku teringat buku Ahmad Tohari, judulnya Orang-Orang Proyek. Dalam buku itu diceritakan, bagaimana pimpinan proyek (pembangunan jembatan) membangun relasi dengan seorang ibu pemilik warung untuk menjual makanannya kepada pekerja-pekerja di proyek tersebut.
Di akhir cerita, ibu pemilik Warteg (Warung Tegal) bernegosiasi kepada pimpinan proyek agar dapat disertakan  kembali jika ada proyek serupa di tempat lain. Kebutuhan biologis manusia menjelma menjadi peluang ekonomi yang “basah” untuk manusia yang lain.
Dua cerita ini memiliki kesamaan bentuk, terutama pada pertanyaan mendasarku yakni, apa yang didapatkan perusahaan transportasi atau pimpinan proyek dari pemilik warung? Makanan geratis? Ooh, aku juga ingin dapat makanan gratis jika melihat jumlah uang logistikku di kantong yang minim.
Memasuki gerbang pelabuhan, suara azan Ashar mulai terdengar. Aku memperkirakan saat itu waktu telah menjelang sore. Bus harus melewati loket pembayaran untuk menyebrang dengan menumpangi kapal penyebrangan. Untuk sebuah sepeda motor, ongkos yang harus dibayarkan adalah 50 ribu rupiah dan sebuah mobil dua kali lipatnya.
Berapa ongkos untuk sebuah Bus yang aku tumpangi? Sebenarnya aku enggan mencari tahu hal ini. Dengan melihat ukuran yang besar dengan kapasitas penumpang 40 orang, serta bagasi yang berjejal dengan barang bawaan maupun titipan, aku perkirakan saja harga yang harus dibayar sekitar 500 ribu, mungkin lebih.
Perjalanan penyebrangan ini memakan waktu satu setengah jam. Itu jika ombak di laut agak tenang. Jika ombak mencapai tinggi setengah sampai satu meter, akan membutuhkan waktu hingga dua jam perjalanan. Syukurlah saat itu air laut sedang tenang, jadi aku bisa sampai di terminal Benteng di selayar tepat waktu, pukul 18.30 WITA.
Kota Benteng masih sama kondisinya seperti lima bulan yang lalu, saat aku pertama kali menginjakkan kaki ke ibukota kabupaten Selayar ini. Jalan lengang dari kendaraan bermotor. Hanya ramai di sisi-sisi jalan oleh sekelompok orang yang sedang berbicara sambil tertawa.
Ada beberapa lampu merah yang terpasang di persimpangan, tapi sepertinya jalan itu belum membutuhkannya. Di pusat kota terdapat alun-alun yang luas dengan jalan melingkar di sisi-sisi perseginya. Di sebelah Barat, terdapat kelompok penjaja makanan dan hiburan untuk warga kota Benteng ini.
Mereka menyebut tempat hiburan ini dengan nama Plaza. Untuk menu makanan, tempat ini tidak menawarkan banyak pilihan. Tapi untuk aneka jenis minuman, seperti jus, mocca, cappucino dan lain-lain, cukup mengobati rasa hausku selama perjalanan.
Bersama Fandi (25 tahun) yang baru saja aku kenal di tempat ini, pergi menuju Plaza. Rupanya, perutku sudah lapar sejak tadi, hanya saja aku disibukkan oleh kertas-kertas pertanyaan yang aku bawa dari Makassar untuk kepala sekolah.
Karena malam telah larut, sebagian besar penjual makanan telah merapihkan dagangannya. Hanya tinggal satu penjual yang tersisa, penjual nasi goreng di pojok Plaza. Sebuah warung tidak beratap dan langsung menghadap ke pantai sebelah Barat kota.
Setelah lama menunggu bapak penjual memasak nasi  goreng kami, akhirnya siap juga menu itu di atas piring besar lengkap dengan irisan mentimun dan ayam goreng yang telah disuwir. Aku dan fandi siap menyambut piring-piring berisi nasi yang terus mengeluarkan asap tipis di atasnya. Belum sempat kami menyambut, bapak penjual menarik kembali piring-piring itu dan berkata, “Eh, lupa dikasih bumbu nasinya, hehe”. Aku dan Fandi hanya bisa saling lihat sejenak kemudian tersenyum untuk menghadirkan reaksi lucu kejadian ini.
Perjalanan Menuju Pulau Lambego
Jumat, 6 Agustus adalah awal pelayaranku mengelilingi pulau-pulau yang ada di kabupaten Kepulauan Selayar. Tujuan pertamaku adalah Pulau Bembe. Aku akan berangkat sesudah shalat Jumat dengan kapal motor milik kecamatan. Kapal ini akan berangkat pukul 14.00 WITA dari pelabuhan Benteng di Selayar menuju pelabuhan Benteng di Pulau Jampea.
Itu jadwal keberangkatan kapal yang disampaikan padaku. Namun, nyatanya kapal ini baru melepaskan tali pengikatnya dari pelabuhan pukul 15.45 WITA karena harus menunggu 2 orang penting hari ini, Pak Camat dan isterinya.
“Perjalanan dimulai, siapkan tenaga dan hatimu. Tunggu aku 6 jam lagi Jampea! Pulau Jampea pasti pulau yang cukup luas”, dalam hati aku berkata pada diriku sendiri.
Sejak awal aku sudah bisa menduga bahwa Jampea adalah pulau yang besar, karena dari cerita Fandi semalam, pulau itu merupakan penghasil sekaligus sumber logistik beras bagi pulau-pulau yang ada di sekitarnya. Pulau ini dibagi menjadi dua wilayah administrasi, yakni kecamatan Pasimasunggu dengan ibukotanya Benteng dan Pasimasunggu Timur dengan ibukotanya Ujung.
Selain beras, masyarakat di pulau Jampea juga menanam ubi kayu, ubi jalar, kacang panjang dan jagung. Kapal kecamatan yang aku gunakan saat ini adalah kapal milik kecamatan Pasimasunggu Timur. Oleh karena itu, tujuan akhir kapal ini adalah ke Ujung, dan hanya transit di Benteng.
Sesuai pesan yang aku terima dari Saleh (42 tahun), aku harus turun di pelabuhan Benteng Jampea untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Bembe dengan menggunakan perahu kecil yang mereka sebut Jolloro’. Aku harus sigap dan tidak ketiduran saat kapal bersandar di Benteng Jampea tengah malam nanti, jika tidak aku akan terbawa hingga di tujuan akhir kapal kecamatan ini.
Saat tiba di pelabuhan Benteng Jampea, waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Perjalananku memakan waktu sekitar sembilan jam lebih, sekitar tiga jam lebih lama dari yang diperkirakan. Di pelabuhan aku disambut oleh Ramli (34 tahun) dan Samudin (26 tahun).
Mereka akan mengantarku ke pulau Bembe, tepatnya di desa Tanamalala dengan Jolloro’ milik Ramli. Aku dipersilahkan menuju Jolloro’ yang telah menungguku sejak pukul 19.00 WITA tadi. Di atas Jolloro’ ada lagi satu orang anak-anak yang tertidur karena menunggu kedatanganku, dan segera terbangun saat Ramli melompat naik ke atas Jolloro’ yang semakin oleng oleh berat badannya.
“Pasti di antara tiga orang ini, guru di smp” aku mencoba meyakinkan diri sambil mengerucutkan pandangan kepada ketiganya. “ Tadi kan pak Saleh bilang kalau ada guru yang mau jemput ka’. Tapi yang mana?” Semakin keras aku berfikir, seolah ditektif cilik Conan yang akan memilih siapa orang yang bersalah dalam kasus ini.
Tali Jolloro’ dilepas dan mesin pun memulai kebisingan. Memukul-mukul telinga dan membawaku pada lamunan, “Yang jelas bukan anak itu! Dia masih terlalu muda, bahkan untuk ajari dirinya sendiri rumus-rumus matematika.” Karena lelah berfikir yang mana sebenarnya guru di antara mereka, aku putuskan Ramli dan Samudin dua-duanya guru.
Lebih spesifik, Samudin guru bisasa dan Ramli adalah wakil kepala sekolahnya (Akhirnya dugaan yang aku buat ternyata salah. Ramli adalah nelayan sekaligus anggota pengawas desa dan Samudin adalah wakil kepala sekolah sebenarnya).
Dari jolloro’ yang melaju menyusuri pinggiran pulau, nampak seluruh listrik telah dipadamkan. Hanya lampu kelap-kelip dari perahu nelayan yang nampak berbaris di bibir pantai pulau. Seperti sedang memberikan kode morse. Di belakang kelipan lampu perahu, nampak sesosok bayangan besar pulau yang menakutkan.
Seperti pulau-pulau ini hidup dan ingin memakanku. Pulau akan nampak misterius dengan bayangannya saat malam. Jolloro’ yang aku tumpangi tidak mendengar ketakutanku. Terus saja dia mendekati bayangan pulau itu. Semakin membesar.
Kelap-kelip lampu perahu nelayan semakin banyak. Itu tanda pelabuhan tempat untuk menepikan Jolloro’ ini sudah semakin dekat, aku lega. Sejak di dermaga pulau hingga di daratan Pulau Bembe, bahkan setelah tiba di rumah kontrakan Samudin, gelap gulita yang nampak. Batas penglihatan hanya selingkaran cahaya lampu senter yang dipegang Ramli, bergerak terus ke samping dan ke depan menuntun perjalanan kami.
Sesekali mengarah ke belakang untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah makan malam dengan penerangan yang terbatas dini hari itu, pelita yang mengantar tidurku. Bangun pagi, aku langsung mendekat ke arah jendela. Aku ingin melihat bentuk pulau Bembe ini karena sejak semalam tidak satupun bentuk di pulau ini yang  terlihat sempurna oleh mataku.
Ini kesempatanku. Pagi di mana cerahnya membuat leluasa mataku untuk melihat segala bentuk di pulau ini. Tentu tanpa harus menyalakan listrik terlebih dahulu. Dari tempatku berdiri, pulau Jampea yang lebih besar nampak hijau penuh dengan bukit melikuk-likuk.
Pasti Jampea lebih ramai dari pulau ini. Sambil menikmati lingkungan baru, jari-jari bergegas membersihkan lubang hidungku yang gatal. Ternyata sangat kotor dan hitam. Noda hitam ini dikarenakan asap pelita semalam yang letaknya sangat dekat dari letak tidurku.
Masing-masing orang nampak sibuk dengan aktifitasnya. Para nelayan tengah menyiapkan pancing dan perahunya, anak-anak berlari sambil berteriak bising tanpa menampakkan lelah sedikitpun di wajahnya. Dari kejauhan aku melihat Ramli berjalan mendekat ke arahku.
Aku akan bersiap untuk bertemu dengannya, mungkin akan ada banyak cerita dari Ramli tentang pulau ini.
‘’Kenapa dinamakan pulau Bembe pa’?” tanyaku pada Ramli. Kemudian Ramli pun mulai bercerita, “Ceritanya dulu, nelayan-nelayan yang lewa’ di sini (di depan pulau Bembe) sering kali lihat kambing.
Karena suara kambing meng-embe’ toh, makanya dinamakan saja pulau ini pulau Bembe”, Ramli menjelaskan sambil menyundut nikmat rokoknya. Cerita Ramli tentang pulau ini adalah cerita orang-orang tua dahulu yang turun menurun dituturkan dari generasi ke generasi.
Tidak ada yang bisa memastikan sejak kapan pulau ini diberi nama Bembe dan kenapa nama itu yang digunakan. Sesaat, aku puas dengan penjelasan yang disampaikan. Tapi aku harus mencari lebih banyak informasi tentang pulau Bembe ini.
Ramli kesehariannya bekerja sebagai nelayan pancing. Dengan Jolloro’ kecil yang kutumpangi semalam, Ramli biasa melaut di pinggiran pulau Bembe atau pulau-pulau lain yang bisa dijangkau oleh jumlah liter solar Ramli saat itu. Selain sebagai nelayan pancing, Ramli juga adalah anggota Dewan Pengawas Desa (DPD) di Desa Tanamalala.
Ramli sangat akrab dengan Samudin, guru muda sekaligus wakil kepala sekolah SMPN 2 Passimasunggu. Terakhir baru aku ketahui bahwa Samudin adalah alumni Fasid di desa Tompobulu, Kabupaten Pangkep pada tahun 2006. Kemudian tahun 2009, Samudin bersama 5 orang temannya mencoba untuk mengajar di sekolah menengah di Selayar.
Pada tahun itu pula Samudin beserta 5 orang temannya mengikuti tes dan terangkat menjadi pegawai Negeri. Mereka akhirnya kompak memilih satu pulau di Selayar untuk dijadikan pilihan untuk tempat mengajar mereka,  Pulau Bembe. Tempat di mana aku berada saat ini.
Samudin masih saja asik menikmati kopi dan rokoknya. Padahal waktu sudah pukul 09.15 WITA sekarang. Dia janji padaku untuk pergi sama-sama ke sekolah pagi ini. Tapi, cuci muka pun dia belum lakukan. Dia masih saja asik menceritakan pengalamannya saat mengikuti FASID, dimana dia mengaku akan dikeluarkan dari program karena sering kali terlambat.
“Biar sering ka’ telat toh, selalu ka’ selesaikan tugasku lebih cepat dari peserta yang lain, hehe”, selalu dengan semangatnya menceritakan pengalaman hidupnya sebelum sampai ke pulau Bembe. Cerita hidup lengkap dengan pesan moril di tiap akhir cerita. Tidak heran jika salah satu temannya, memanggilnya dengan “Plato”.
Samudin ditugaskan oleh kepala sekolah untuk melengkapi lembar-lembar pertanyaan yang kubawa dari Makassar. Dialah yang bertanggung jawab atas sekolah saat Saleh tidak di tempat. Setelah lembaran-lembaran pertanyaan ini terisi semua, aku akan bebas berkeliling untuk mengenal langsung masyarakat di pulau ini.
Aku akan memanjakan mata dengan pemandangan laut yang indah, mengumpulkan sebanyak mungkin informasi desa atau cerita-cerita unik lain yang ingin kudengar. Semoga dengan diam dan menunjukkan ketidaktertarikanku atas cerita Samudin bisa menunjukkan kekecewaanku, karena dia tidak tepati waktu dari janjinya semalam.

Baiklah, tugas utama akan segera dijalankan. Komunitas memberi amanah kepadaku, juga teman-teman yang lain untuk mengumpulkan informasi tentang potensi tempat yang akan kami datangi. Setelah mencari tahu siapa yang bisa memberikan banyak informasi dari Samudin, segera aku mendatangi Samuddin (37 tahun) di rumahnya yang berjarak hanya empat rumah dari tempatku menginap.
Samuddin dipercayakan oleh masyarakat untuk menjadi ketua komite sekolah baru yang dibangun dengan hutang pemerintah Indonesia kepada pemerintah Australia di desa Tanamalala. Selain sebagai ketua komite sekolah, Samuddin juga adalah ketua DPD di desa Tanamalala.
Saat aku temui, Samuddin baru saja tiba di rumah. Dia baru saja selesai mandi di sumur umum yang terletak di bukit, hanya 200 meter  dari rumahnya. Tahu ayahnya datang, anak samuddin (4 tahun) yang sejak tadi bersamaku langsung menyambarnya.
Rambut kecoklatan menutupi wajah gosong yang terbakar sejak siang tadi. Aku melihatnya bermain dengan anak-anak yang lain di pantai dekat dermaga. Segera setumpuk ciuman berhamburan di pipi sang buah hati. “Rasanya pasti tajam, menusuk di pipi anak itu”, berkata dalam hati.
Aku bisa perhatikan dari kumis tebal Samuddin yang condong ke depan, searah bentuk bibirnya. Setelah puas dengan anaknya, Samuddin bergegas untuk berpakaian, kemudian dimulailah penggalian informasi dengannya. Masyarakat pulau Bembe tiap tahunnya memiliki dua aktifitas umum, yakni bertani dan melaut mencari ikan.
Dua aktifitas ini dilakukan mengikuti dua musim angin yang ada. Pada musim Angin Timur, masyarakat pulau Bembe akan mengelola lahan mereka yang terletak di bukit-bukit pulau Bembe. Mereka menanam Jagung, Ubi Kayu, Ubi Jalar, Kacang Panjang, Mente dan membuat Kopra.
Hasilnya selain dikonsumsi sendiri, juga di jual ke Benteng Selayar. Pada musim angin Barat ini, biasanya ombak di laut mencapai empat meter. Karena terancam oleh ombak, maka masyarakat mengisi waktu mereka dengan bertani sekaligus memenuhi persediaan logistik pangan mereka. setelah Musim AnginTimur berakhir, masuklah Musim Angin Barat yang lebih bersahabat.
Masyarakat pulau Bembe, akan mulai untuk mencari ikan dan hasil laut lainnya yang bisa mereka peroleh ketika Musim Angin Barat. Adapun jenis ikan yang mereka cari untuk dijual adalah ikan Sunu, Katamba, Kerapu, Cakalang dan lain-lain.
Ikan tersebut mereka pancing dan diupayakan tetap dalam keadaan hidup saat pembeli datang. Hasil tangkapan akan dihargai sangat mahal jika dalam keadaan hidup. Misalnya saja ikan Sunu. Dalam keadaan mati ikan ini hanya dihargai 50 ribu rupiah per kilogram.
Namun jika ikan dijual dalam keadaan hidup, harganya bisa mencapai 100-150 ribu rupiah per kilogramnya. Para pembeli biasanya datang dan mengambil langsung hasil tangkapan nelayan di pulau Bembe. Mereka adalah pengusaha lokal (asal Indonesia) dari luar kabupaten Selayar, seperti Bulukumba, Makassar, bahkan Bali.
Namun ada juga pengusaha dari luar Indonesia yang datang untuk membeli ikan-ikan hasil tangkapan nelayan. Berbeda dengan pengusaha lokal, mereka biasanya menadah ikan untuk kemudian dijual kembali ke penadah ikan asal Asia Tenggara di Singapura, Vietnam dan Cina.
Samuddin biasanya dalam sehari mendapatkan hasil tangkapan antara 5 sampai 10 kilogram. Dari beberapa jenis ikan yang di sebutkan tadi, sebenarnya masih ada jenis ikan lain yang kerap nelayan dapat dari pancingnya. Hanya saja, ikan tersebut tidak boleh ditangkap atau dengan kata lain dilindungi negara.
Tepatnya, dilindungi hanya jika ketahuan saja, jika tidak, ikan tersebut akan dihargai 2-3 kali lebih mahal dari ikan Sunu atau Kerapu. Samuddin mengaku sangat sulit sekarang untuk mendapatkan ikan jenis ini, karena terumbu karang sudah sangat rusak oleh bom dan bius.
Entah sejak kapan tradisi bom dan bius mulai marak. Tapi, menurut Samuddin, sejak runtuhnya Orde Baru, orang-orang semakin bebas melakukan pengeboman. Reformasi adalah tonggak kemerdekaan bagi nelayan pembom dan pembus ikan ilegal.
Pernyataan Samuddin ini diperkuat pula oleh Kamaluddin (sekitar 40 tahun), mantan pekerja di penampungan ikan milik pengusaha Vietnam. Aku bertemu Kamaluddin sedang berkumpul dengan guru-guru yang baru tiba dari Selayar di depan rumah tempatku menginap, sepulang dari rumah Samuddin.
Dengan membentangkan peta kepulauan Selayar miliknya, Kamaluddin menunjukkan titik-titik yang biasa dijadikan aktifitas pemboman ikan. Dari kisah Kamaluddin, pada Masa Orde Baru, untuk memasuki perairan dangkal (sebelah Barat Daya Pulau Lambego dan beberapa titik di perairan Takabonerate) saja sangat sulit dilakukan.
Perairan dangkal ini (sekarang menjadi area Taman Nasional Laut Takabonerate) dijaga ketat oleh Angkatan Laut. Mereka bahkan tidak segan-segan menembak langsung ke arah kapal yang memasuki area ini tanpa izin. Perlakuan keras aparat pemerintah itu berhasil membuahkan ketakutan kepada para nelayan pembom dan pembius ikan.
Namun setelah Orde Baru ini runtuh, masyarakat nelayan sekitar menjadi sangat bebas melakukan pemboman dan pembiusan ikan di wilayah itu, bahkan memperluas wilayah pembomannya di luar area taman nasional. Kini, tidak ada lagi aparat yang berlaku keras, bahkan tidak sedikit aparat ikut mengambil keuntungan dari praktek berbahaya itu.
Desa Tanamalala ini terdiri atas empat dusun, yakni dusun Tanjung Lasore, dusun Tanjung Bone, dusun Tanjung Karang dan dusun Jailamu. Tiga dusun terletak di dalam Pulau Bembe, sedangkan satu dusun terletak di pulau terpisah di Timur Laut pulau Bembe.
Luas wilayah desa ini mencapai kurang lebih 12.80 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 755 jiwa pada tahun 2009. Dengan 178 kepala keluarga, masyarakat desa di Tanamalala memiliki beragam mata pencaharian. Selain melaut dan bertani, mereka juga berternak kambing, sapi, bebek dan ayam. Ada juga beberapa warga yang menambang pasir dan granit (tambang golongan C).
Pembuatan Perahu Tradisi Masyarakat Pulau  Kepulauan Selayar
Wisata Minggu Pulau Karang, tema hari itu 8 Agustus 2010. Setelah dua malam merasakan langsung kehidupan pulau Bembe, para guru muda mengajak aku untuk ikut bersama mereka ke pulau Karang. Bersama mereka, turut beberapa pengusaha ikan lokal, Babinsa dan anak-anak murid SMP dan SD.
Kami menggunakan perahu jenis Parengge’.[1] Segera setelah persiapan selesai, kami menuju dermaga pulau Bembe. Wisata kali ini buka hanya sekedar jalan-jalan saja, tapi akan diisi dengan makan ikan bakar dan Burrasa’ bersama. Selain menggunakan Parengge’, ada pula beberapa  yang menggunakan perahu jenis Jolloro’[2], karena perahu pertama telah penuh oleh rombongan wisata kami.
Sesuai dengan namanya, Pulau karang sebagian besar bagiannya berupa batu-batu besar. Arus di sekitar pulau ini sangat kuat, sehingga perahu yang aku tumpangi tidak dapat menjangkau bibir pantai. Apalagi saat siang, air laut di sekitar pulau akan surut dan menjadi sangat dangkal. Nahkoda akhirnya memutuskan untuk menurunkan jangkar perahu sekitar 200 meter di luar pulau.
Bagaimana dengan kami ? Dengan apa kami harus mencapai pulau ? Yah, itulah gunanya sampan yang selalu setia terapung di sisi perahu jenis Parengge’. Nelayan mnyebutnya sampan dengan daya muat 3 orang dewasa. Jika digunakan oleh anak-anak, biasanya bisa ditumpangi hingga 5 orang. Anak-anak memutuskan untuk menggunakannya agar bisa mencapai pulau lebih cepat.
Bertahap, lima orang terlebih dahulu. Kemudian terus seperti itu menyusul lima orang berikutnya. Salah seorang anak, memutuskan untuk menjadi relawan untuk menjadi pendayung dan mengantarkan teman-temannya hingga ke pulau, kemudian kembali untuk menjemput yang lain.
Dalam hatiku, hanya rasa takut yang ada. Tidak sanggup aku membayangkan, jika aku harus menggunakan sampan itu. Dengan berat badan 60 kilogram, aku harus menggunakan sampan kecil berisi lima orang. Tinggi air nampak hampir menutupi lambung sampan.
Hanya tersisa beberapa sentimeter saja. Syukurlah karena pertolonganpun datang. Jolloro’ yang mengangkut rombongan kedua menyinggahi kami setelah menurunkan tumpangannya di pulau Karang. Karena ukuranya lebih kecil dan lebih ringan, Jolloro’ bisa menjangkau hingga bibir pantai yang sudah dangkal saat siang.
Setiba di bibir pantai, anak-anak yang lebih dulu tiba dengan sampan mulai mengumpulkan ranting untuk membakar ikan hasil tangkapan semalam. Di bawah sebuah pohon yang miring oleh abrasi pantai, air di pantai memunculkan bayangan hijau pohon bercampur biru muda air laut yang indah.
Angin menjadikan api mulai membesar dan sulit dikendalikan. Tapi aku tahu, bukan api yang dibutuhkan untuk memasak matang ikan kami, tapi bara sisa pembakarannya. Perempuan-perempuan tidak kalah kreatif dari anak-anak, mereka bergegas mengeluarkan burassa’ yang dibuat semalam serta air minum sebagai bekal pelengkap wisata ala pulau Bembe.
Sebagian ikan direbus karena kami kekurangan bara. Ternyata ibu-ibu itu jugalah yang telah menyiapkan kemungkinan itu. Sambil menunggu hidangan selesai di masak, aku menyempatkan untuk menyapa Babinsa yang bertugas di pulau Bembe yang berlanjut menjadi pembicaraan serius tentang kepulauan dan ketahanan negara.
Dia mengaku kesulitan dalam melakukan pengawasan terhadap pelaku bom dan bius ikan yang marak terjadi. Menurutnya, bukan hanya kesadaran yang kurang, tetapi ada faktor alam yang menyebabkan sulitnya pengawasan tersebut. “Dengan luas wilayah laut seperti ini, kapal asing saja sulit untuk terpantau, apalagi kalau kapal nelayan lokal yang masuk kesini”, mulai menjawab pertanyaanku tentang tugas yang paling berat untuk profesinya. “kapal patroli saja masih sangat kurang”.
“Bagaimana dengan kapal patroli laut yang saya lihat di pelabuhan Benteng pak? Apakah tidak berfungsi?”, pertanyaanku mulai menghujani keluhannya. “Untuk biaya oprasional patroli saja masih diselewengkan, itu fakta! Kapal-kapal itu hanya pajangan, supaya kasi ramai pelabuhan”,
sambil mengernyitkan dahi, dia mencoba menampakkan kekecewaan mendalam atas minimnya fasilitas patroli laut yang ada saat ini. Aku mengerti apa yang dia rasakan, kapal-kapal patroli itu hanya sekedar formalitas bahwa ada yang menjaga perairan yang kaya ini.
Setidaknya untuk menghibur masyarakat agar lebih semangat membayar pajak. Pembicaraanku ditutup oleh ajakan makan siang. Aku sangat menikmati ikan segar yang disugukan, sampai-sampai terlupa ada pula Burasa’ yang tidak kalah lezatnya di depanku.
Sekarang aku telah kenyang dan siap untuk kembali ke pulau Bembe untuk istirahat. Sepulang dari Pulau Karang, aku bersama beberapa guru tidak langsung menuju dermaga. Aku singgah di Dusun Bara’, dusun yang letaknya cukup jauh dari ibukota desa Tanamalala.
Jaraknya sekitar satu kilometer dengan bukit yang sangat menukik. Dengan kemiringan 35 derajat, otot betisku terasa ngilu menyusurinya. Sesampai di puncak, ngilu betisku lanjut mengalir ke mata yang terkejut dengan pemandangan yang sungguh indah.
Keindahan pulau-pulau dan abrasi warna laut yang ada di sekitar Pulau Bembe ini. Variasi warna laut yang berkilau-kilau oleh cahaya matahari, mengikuti kedalaman laut. Semakin dalam, semakin gelap pula biru lautnya. Setelah bernegosiasi dengan Ramli mengenai kesediaannya mengantarkanku ke tiga pulau lainnya selesai, hadir masalah lain.
Harga! Keseganan Ramli terlihat saat aku memberikan kesempatan padanya untuk menetapkan berapa jumlah uang yang harus aku bayarkan. Aku terus befikir tentang hal itu. Kuputuskan untuk menghitung penghasilannya, tanpa harus dia sadari.
Kesehariannya Ramli adalah nelayan pancing di perairan sekitar pulau Bembe. Selain sebagai nelayan, dia adalah anggota Dewan Pengawas Desa di Tanamalala. Dalan sehari, biasa dia menghasilkan uang sekitar 50 hingga 100 ribu rupiah dalam sekali melaut.
Itu belum dipotong berapa liter solar serta ongkos tenaga yang dikeluarkan. Harga solar di pulau ini adalah tujuh ribu rupiah per liter, dua ribu limaratus lebih mahal dari harga solar di daratan besar. Untuk jumlah gajih yang dia terima sebagai anggota DPD, aku sama sekali tidak mengetahuinya, sehingga tidak aku hitung.
Untuk satu jam perjalanan biasanya Jolloro’ milik Ramli menghabiskan hingga 4 liter solar. Perkiraan perjalananku untuk menempuh ketiga pulau berikutnya kurang lebih 13 jam perjalanan. Untuk menyelesaikan pekerjaanku secara keseluruhan, mungkin kami harus menghabiskan waktu tiga hari dua malam.
Artinya, aku harus membayar ganti hari kerja Ramli 300 ribu rupiah. Untuk jumlah solar yang akan dihabiskan sekitar 52 liter. Jadi total harga solar adalah 364 ribu rupiah. Ini harus dikali dua, karena Ramli harus memperhitungkan juga ongkos yang harus dikeluarkan saat pulang setelah mengantarkanku.
Apalagi Ramli akan membawa dua orang pekerja lagi yang akan membantunya selama perjalanan. Aku memperkirakan harga yang akan aku bayarkan kepada Pak Ramli untuk mengantarku adalah Rp 2.528.000. Ramli masih juga enggan untuk mendapatkan bayaran sebesar itu, kemudian memutuskan bahwa aku hanya harus membayarnya dua juta rupiah saja.
“Terima kasih Pak sudah mau menolong saya”, sambil tertunduk aku mengucapkannya. Pak Ramli kemudian menjawab, “Jadi besok saya banguni ki setelah shalat subuh. Kita berangkat pagi-pagi untuk menghindari ombak, karena musim timur sekarang”.
Senin, 9 Agustus aku meninggalkan pulau Bembe menuju pulau Jampea yang lebih luas daratannya. Seperti yang aku ceritakan di awal, pulau Jampea adalah pulau penyedia logistik beras untuk pulau-pulau di sekitarnya. Dari pulau Bembe, Jampea sudah bisa dilihat dengan mata telanjang.
Untuk tiba di bibir pantai terdekat hanya membutuhkan waktu satu jam. Hanya saja, desa Ma’minasa yang akan aku datangi ada di sisi belakang pulau jampea, jadi butuh tiga jam untuk mengelilingi pulau Jampea. Bentuk pulau jampea memanjang dengan beberapa teluk di sisinya. Aku hanya melewati satu saja teluk pulau ini.
Benar seperti yang dikatakan Ramli, air laut saat pagi masih tenang, hingga akhirnya di sebuat teluk, ombak air laut mulai naik hingga satu meter. Perahu kami oleng dan memaksa Ramli untuk mengurangi kecepatanya Jolloro’nya. Pertemuan arus di teluk inilah yang menjadikan gelombang meninggi, ditambah angin serta kedalaman laut yang mendangkal.
Indah dipandang laut di sini, tapi sungguh, sangat tidak nyaman untuk dirasakan oleh perutku yang masih kosong sejak tadi. setelah 20 menit diguncang ombak, terlihat juga atap biru sekolah. Masyarakat di sini menyebut Desa Ma’minasa dengan kampung Pakangkang.
Sepertinya tempat ini lebih terkenal dengan nama itu. Tiba di pantai pasir putihnya, aku banyak melihat kotoran sapi di atasnya. Tentu banyak sapi di sini. Di sudut lain, terdapat beberapa galian pasir lengkap dengan jejak mobil pengangkutnya, karena sekolah mengambil sebagian bahan bangunan dari pantai ini.
Setelah tiba, kulihat jam di dinding sekolah tepat pukul delapan. Perjalananku lebih cepat setengah jam dari yang diperkirakan. Pukul 11.13 Wita, perjalanan kami lanjutkan menuju pulau Lambego. Pulau ini masuk dalam wilayah administrasi kecamatan Pasimarannu.
Aku tidak bisa lagi mengharapkan ombak di laut untuk tenang, pada musim Angin Timur, ombak besar adalah sebuah keharusan. Untuk menghindari ombak yang lebih besar, kami melalui sisi sebelah Timur pulau walaupun arusnya kuat dan dangkal.
Di antara pulau Jampea dan pulau Lambego yang aku lalui, terdapat area bebas tangkap ikan, baik dengan alat tangkap legal maupun ilegal. Area ini dijaga oleh orang-orang yang terlibat dalam program Coremapp II. Program ini juga merekrut orang-orang desa kepulauan untuk menjadi penanggung jawab area yang harus dilindungi terumbu karangnya. Area Coremapp ini tidak begitu luas, kurang dari dua kilometer persegi dengan kedalaman yang relatif rendah, 20 hingga 100 meter saja.
Sebagai pulau terbesar di kecamatan Passimarannu, pulau Lambego memiliki beberapa keutamaan. Misalnya, pulau ini adalah pemasok kayu untuk bahan baku perahu. Tidak heran jika aku menemukan beberapa warga sedang mengerjakan pembuatan perahu kayu. Untuk ukuran lebar perahu 1.5 meter dan panjang kurang lebih 5 meter, perahu dihargai hingga 6 juta rupiah. Untuk ukuran yang lebih kecil, harga berkisar 3 sampai 4 juta rupiah.
Aku juga sempat mengambil beberapa gambar seorang ibu yang menarik kudanya. Aku menduga-duga, selain berternak sapi dan kambing, masyarakat pulau Lambego juga memelihara kuda. Pulau Lambego letaknya behadapan dengan Bonerate, ibu kota kecamatan Passimarannu. Laut yang membatasinya nampak seperti sungai yang lebar dengan air yang tenang. Aku bisa melihat rumah-rumah di Bonerate hanya dari tempatku dudukku saat istirahat di pinggir tanggul pulau. Tanggul ini dibangun dengan dana program PNPM tahun 2009.
“Besok pagi aku akan berada di sana, tempat ramai itu”, ucapku dalam hati.
Sembari menikmati teh hangat, aku banyak mendapatkan informasi tentang merosotnya kualitas pendidikan di pulau Lambego. belum sempat bercerita banyak, isteri kepala sekolah segera memanggil untuk masuk ke ruang makan. Di meja sudah nampak ayam kare terhidang dengan ikan goreng renyah lengkap dengan cobe’-cobe’ tomat. Makan, aku telah menantinya sejak tadi.
“Dulu ada seorang guru baru yang datang ke sekolah ini. Dalam perjalanannya menuju Lambego, kapal yang dia tumpangi dihantam ombak. Saat itu juga, guru tersebut berjanji bahwa ini perjalanan pertama sekaligus terakhirnya ke pulau ini”, cerita kepala sekolah kepadaku.
Menurutnya, sejak itulah sekolah ini kekurangan guru pengajar. ”Tidak banyak yang mau mengajar apalagi harus tinggal di pulau Lambego ini”, menambahkan. Baru-baru ini, seorang guru terpaksa dibawa pulang ke Benteng Selayar karena sakit tipes.
Kepala sekolah tidak mau menanggung resiko yang lebih hanya karena penyakitnya yang sudah cukup parah. Pustu di pulau Lambego tidak mungkin bisa merawatnya. Walau harus menanggung biaya sewa perahu yang sangat mahal, kepala sekolah memutuskan untuk membawa guru perempuan itu kembali ke Benteng Selayar.
Di pulau Lambego sangat minim transportasi umum, sehingga untuk keperluan mendadak seperti tadi, tidak jarang warga harus mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk menyewa perahu untuk menuju Benteng Selayar. Bahkan, untuk sampai ke Bonerate, warga harus menumpangi perahu nelayan yang kebetulan akan menuju kesana, karena tidak ada transportasi laut umum yang menyediakan jasa angkutan antar pulau.
Catatan Kaki Perjalanan
Perahu yang digunakan nelayan penangkap ikan di Sulawesi Selatan. Biasanya perahu jenis ini memiliki dua mesin utama, satu mesin Derek untuk mengangkat jala dan satu mesin genset kapasitan 25 PK lengkap dengan dynamo untuk menyalakan lampu sorot. Di perahu ini ada sebuah sampan kecil yang diikat di sisi perahu atau dibiarkan ditarik di belakang perahu.
Perahu jenis ini adalah jenis yang banyak ditemukan di sekitar Kepulauan Selayar. Ukurannya lebih kecil dari Parengge’. Biasanya hanya menggunakan satu mesin utama dengan kapasitas lima orang penumpang. Perahu ini biasa digunakan oleh pemancing ikan.
Tulisan ini diambil dari notes akun penulis disalah satu situs jaringan sosial (facebook; http://www.facebook.com/notes/agung-itu) Tulisan ini terdiri dari empat bagian, namun untuk kenyamanan pembaca, kami menyatukannya menjadi satu tulisan tentang perjalanan. Di notes penulis di situs Facebook, tulisan untuk bagian ke empat sebenarnya masih bersambung. Tapi sampai tulisan ini di posting, kami belum mendapatkan lanjutan dari tulisan ini.


Selamat Kepada Pemimpin Baru Selayar



Beberapa pekan lalu saya dapat undangan dari Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar yang ditandangani ketuanya Bapak Hasanuddin Chaer. Isinya, menghadiri pelantikan Bupati terpilih Selayar, Drs. Syahrir Wahab dan wakilnya Syaiful Arif, SH oleh GUbernur Sulsel Dr.Syahrul Yasin Limpo pada tanggal 30 September 2010. Ada tulisan VIP di sudut undangan itu. Namun karena alasan bertepatan dengan agenda kegiatan, saya relakan kursi saya kosong.
Sedih tidak bisa hadir tapi tak apa, toh tidak mengurangi apresiasi dan kecintaan saya pada pulau eksotis tempat pertama kali melakukan riset kelautan, bekerja dan mengenal banyak sahabat sejak tahun 1995.
Sosok Bupati terpilih (incumbent sekaligus mantan Sekretaris Daerah di Kabupaten Jeneponto, kelahiran Pulau Kayuadi) mendapat pujian utamanya dari warga pesisir dan pulau-pulau di Selayar.  Beliau dianggap telah membuka akses yang sangat luas bagi tumbuhkembangnya perekonomian pesisir. Berbagai fasilitas publik dan sarana prasarana kesehatan, pendidikan dan infrastruktur penunjang mobilitas antar pulau menjadi tanda kesuksesannya.
Sedangkan wakilnya, Syaiful Arif, alumni Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada merupakan birokrat karir sekaligus ustadz yang dikagumi di daratan utama Selayar maupun kepulauan. Sosoknya tenang dengan pengalaman di dunia birokrasi yang sangat cemerlang.  Dengan beliau, saya mempunyai kesan mendalam.
Saat bekerja di program COREMAP I(1999-2003) sebagai Capacity Building Mediator  (Community Liaison) untuk Kabupaten Selayar, saya diajak beberapa kali ikut menemaninya ceramah di kampung-kampung. Setiap ada acara agama semisal maulid Nabi Muhammad, selalu mengajak. Mobil dinas Bupati sebelumnya HM Akib Patta beberapa kali saya tumpangi ke desa bersamanya.
Bersama beliau pulaulah saya diajak mengunjungi Pulau Kayuadi untuk pertama kalinya di tahun 2003. Saat itu beliau adalah kordinator Monitoring Controlling and Surveillance (MCS) COREMAP I. Dengannya, kordinasi dan konsolidasi atas aparat penegak hukum di Selayar untuk berhimpun membahas dan mengawasi implementasi MCS. Sebagai pemimpin beliau sukses mengkordinasi aparat Jagawana Taman Nasional, Angkatan Laut, Babimmas Kepolisian dan Babinsa TNI di dalam wilayah operasi COREMAP. 
Pengalamannya di dunia kewartawanan (beliau adalah kontributor Harian Pedoman Rakyat di Selayar), ketua KPPSI Selayar (Persiapan Syariat Islam) serta anggota ICMI memberinya banyak kemungkinan untuk memediasi berbagi pihak dengan bijak.
Saya berikan apresiasi juga kepada dua kandidat lainnya, Ince Langke Ince Alang dan Hj. Nur Syamsina Aroeppala. Ince Langke adalah politisi kawakan yang teguh pendirian dan taktis. Dengan pendiriannya itu beliau rela meninggalkan kursi anggota DRPD Propinsi untuk maju di Pemilukada Selayar tahun ini. Saya pernah berbincang dengannya (masih saat bekerja di COREMAP I) dan merekam kemampuan analisas dan ide yang brillian terkait pengembangan Selayar. 
Sosok kedua, Ibu Nur Syamsina (kami kerap memanggilnya Ibu Ina), bukan sosok sembarangan. Beliau adalah wanita dengan latar pendidikan dan pengalaman managerial yang mumpuni. Pengalamannya bekerja dengan Tanri Abeng sangat mempengaruhi cara pandangannya tentang bagaimana organisasi pemerintahan yang efektif. Beliau punya visi yang kuat dan tajam. Saat berbincang dengannya hampir tiga jam di rumah dinasnya di Kota Benteng, saya takjub pada visi-misi dan ekspektasinya tentang bagaimana Selayar yang mandiri, modern dan kuat sebagai satu sistem sosial (civil society).
Begitulah, mari kita ucapkan selamat kepada Bupati dan Wakil Bupati terpilih juga kepada kandidat yang belum sempat menarik simpati dan suara politik warga Selayar. Kedua calon lainnya, bisa jadi hadir pada momen yang belum pas untuk menjadi Bupati terpilih. Tapi, kapasitas mereka tidak boleh dipandang remeh.
Dalam beberapa dialog dengan warga Selayar dan hampir semuanya menyatakan puas atas kinerja Bupati terpilih (incumbent). Tetapi bukan pemerintahan jika semua pihak puas, bengkalai tentu masih ada dan butuh komitmen mereka berdua. Semisal, penanganan pasar lama Kota Benteng yang belum tuntas. Juga, disparitas porsi penganggaran infrastruktur antar wilayah serta upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (capacity building) yang belum optimal, juga masih lambannya perbaikan kualitas lingkungan pesisir dan laut sebagai modal ekonomi jangka panjang mereka.(*) 
Sekali lagi, selamat!

Tim Patroli Terpadu MCS Coremap II Kepulauan Selayar Lakukan Perburuan Pelaku Illegal Fishing


Tim patroli MCS Coremap Kabupaten Kepulauan Selayar yang dipimpin langsung Andi Jaelani, SP hari Minggu, (21/11) 2010 siang  kembali melakukan perburuan kapal pelaku illegal fishing di perairan Bonerate, Kecamatan Pasimarannu. Perburuan pelaku berawal dari peledakan bom ikan di sekitar Pulau Lambego yang diduga kuat dilakukan oleh nelayan asal Kecamatan Takabonerate.
Menurut Jaelani, Tim MCS Coremap II beranggotakan tujuh orang ini melakukan perburuan dengan kecepatan 10 knot/jam ke arah timur laut Kabupaten Kepulauan Selayar.  Tepatnya, kea rah bibir pantai Kecamatan Pasimarannu atau tepat pada titik S 070 -150’  50,7 E 121-02-38.1  
Sangat disayangkan, karena kapal yang ditumpangi tim patroli MCS Coremap II harus tertinggal jauh dari kapal pelaku yang kecepatannya jauh lebih tinggi.  Sampai berita ini diturunkan, belum ada informasi lanjutan terkait dengan akhir perburuan yang dilakukan tim patroli MCS Coremap II Kabupaten Kepulauan Selayar tersebut. (*)           

PT. Minanga Gassing Sulawesi Kembali Persembahkan Dua Kapal Fiber


Kembali beroperasinya kapal fiber Minanga Express 07 yang selama ini melayani route penyeberangan Dermaga Rauf Rahman Benteng, Kabupaten Kepulauan Selayar dan Dermaga Lappe’e, Kabupaten Bulukumba, akhirnya menjawab rumor kurang sedap, yang menyatakan. “kepergian kapal fiber milik PT. Minanga Gassing tersebut, tak lain diakibatkan karena pihak perusahaan  diduga tidak mengantongi izin pelayaran”.
Namun hal itu, dibantah secara tegas Kepala Cabang PT. Minanga Gassing, Kabupaten Bulukumba, Darwis  dalam keterangan persnya, kepada wartawan saat dihubungi via telefon selularnya, hari Minggu, (21/11) pagi. Menurut Darwis, sempat tidak beroperasinya kapal fiber Minanga Express 07 dalam beberapa hari terakhir disebabkan karena kerusakan pada bagian kransat mesin induk.
Pada dasarnya, kapal masih bisa dioperasikan dengan kecepatan antara empat sampai lima jam. Namun, untuk normalnya, pihak perusahaan masih harus menantikan pengiriman alat dari Singapura yang sementara akan dikirim melalui Pelabuhan Batam menuju Makassar.
Dikatakannya, saat ini proses pengiriman alat dimaksud, masih sementara dalam tahap pengurusan legalitas bea dan cukai di Pelabuhan Batam. Kendati demikian, pihak perusahaan berharap onderdil kransat ini bisa secepatnya tiba di Pelabuhan Lappe’e, Kabupaten Bulukumba.
Mengingat, kerusakan  serupa juga turut dialami oleh kapal MV. Minanga Express 05 yang saat ini bersandar di Pelabuhan Lappe’e. Darwis menandaskan, pihak perusahaan sangat berharap dapat membantu masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar untuk memperlancar arus penyeberangan di lintasan Pelabuhan Rauf Rahman Benteng Selayar.
Khususnya, dalam rangka menunjang efisiensi waktu  pelayaran pada lintasan Kabupaten Kepulauan Selayar yang turut didukung oleh semakin membaiknya kondisi cuaca di perairan Bumi Tanadoang dalam beberapa hari terakhir ini. Terlebih lagi, disaat menyadari, posisi kabupaten Kepulauan Selayar sebagai daerah tujuan wisata di bagian selatan-selatan Provinsi Sulsel.
Sehingga, dibutuhkan adanya dukungan ketersediaan sarana prasarana yang dapat menunjang percepatan efisiensi waktu pelayaran. Terkait hal tersebut, PT. Minanga Gassing Sulawesi mengharapkan terus terjalinnya kerjasama yang baik antara Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar dengan  pihak perusahaan kapal fiber MV . Minanga Express 05, dan 07.
Pimpinan cabang PT. Minanga Gassing Sulawesi Kabupaten Bulukumba ini sama sekali tidak  menghiraukan  adanya kesan persaingan bisnis di kalangan pengusaha angkutan darat yang sengaja menghembuskan berbagai rumor kurang sedap terkait dengan pengoperasian kapal cepat MV. Minanga Express. Termasuk, issu kepemilikan  izin pelayaran oleh pihak PT. Minanga Gassing Sulawesi.
Ditegaskannya, bila tidak ada aral melintang dalam pekan  ini, kapal fiber MV . Minanga Express 05 dan 07 akan kembali beroperasi seperti sedia kala, ujar Darwis. (*)